Cukup aku saja yang menerima perlakuan seperti ini. Jangan ada lagi hewan seperti ku yang mendapat perlakuan sama. Dibuang, ditinggalkan sendiri. Cukup !
Entah sudah hari keberapa aku berada di sini, di tempat ini. Mataku masih belum bisa melihat dengan sempurna. Samar-samar kulihat makhluk kecil yang mirip denganku. ahh.. Dia pasti saudaraku. Kulihat lagi ke sekeliling, tapi yang terlihat hanya kertas kokoh di empat sisi yang mungkin biasa kalian sebut dengan kardus.
Tenggorokanku serak, aku haus. “Di mana ibu?” aku bertanya pada saudaraku. Saudaraku hanya diam. Akupun mengulang pertanyaan yang sama dengan gemetar menahan serak. Lagi-lagi saudaraku hanya diam. Aku berusaha menghampirinya, merangkakan tubuh kecil ini. Tapi tubuh saudaraku telah kaku, tak ada sedikitpun hembusan nafas yang ia keluarkan. Akupun menangis menjilati tubuhnya.
“Apakah ini hadiahku, Tuhan?” Tanyaku lirih tak berdaya.
Aku tak ingat memori apapun tentang ibuku, bagaimana wajahnya. Hanya sisa-sisa kehangatan peluknya yang entah bagaimana aku bisa merasakannya.
“apa ibu meninggalkanku?”
“apa aku dipisahkan dari ibuku oleh makhluk bernama manusia?”
Banyak pertanyaan di benakku. Aku hanya mengeong lirih menangis menanggung beban ini sendiri.
Sampai ada seorang gadis kecil datang menghampiriku. Ia memberiku sepotong roti dan minumnya kemudian berlalu. Aku langsung memakannya dengan lahap dan bersyukur. “Tapi makanan ini terasa beda di mulut bu. Aku ingin minum air susu ibu, bersama saudaraku sambil menikmati hangat pelukmu”. keluhku.
Aku tertidur
Entah berapa lama, sampai saat aku merasa aku sedang melayang. Tubuhku sudah bertenaga lagi berkat makanan tadi. Aku mendongakkan kepala, dan melihat gadis yang tadi. Dia membawaku kesuatu tempat entah kemana, yang pasti aku hanya mendengar laju mesin dari besi- besi berjalan di tiap langkah perjalanan kami.
Kami berhenti di pekarangan rumah. Ia berlari kecil ke dalam rumah dan kembali lagi dengan cangkul di tangannya. Dengan tangannya ia menggali tanah, mengangkat dan menguburkan saudaraku. Betapa baiknya dia, aku tidak akan pernah melupakan kebaikan yang dia beri kepadaku. Dia kembali kepadaku tersenyum seolah berkata “jangan khawatir”.
Gadis tersebut kembali membawaku, kali ini kami berjalan memasuki sebuah rumah. Dia berbicara kepada seorang yang lebih tua, mungkin ibunya. Kemudian dia terlibat cekcok dengan orang tersebut.
“kotor ! bau ! jijik ! ihh kucing kampung ! ntar kamu tertular penyakit nak !”
Aku tidak tahu arti kata tersebut, tapi dari ekspresinya aku tahu bahwa ia tidak suka kepadaku. Gadis tersebut mencoba menjelaskan berulang kali, tapi ibunya tetap saja menolak. Dia terdiam, air mata mengalir di pipinya.
Deg ! aku terdiam, seolah bisa merasakan apa yang gadis itu rasakan. Dia berlari membawaku, mengembalikanku ke tempat semula.
“Maaf ya mpus, ibu nggak ngijinin” Dia mengusap-usap kepalaku, meletakan sepotong makanan kemudian pergi. Aku menunggunya, namun dia tidak kembali lagi.
Sakit, rasanya sakit. Aku kembali berada di tempat sunyi ini sendiri. Banyak manusia lain yang melintas, mereka terlihat berbeda – beda. Namun mereka hanya sebelah mata memandangku.
“Apa salahku? Apa karena aku memang kotor dan menjijikan? Bukankah kita hidup saling berdampingan ? Tapi kenapa kalian begitu angkuh ? ” Akupun hanya bisa kembali mengeong dan menangis.
Cukuplah aku saja yang menerima perlakuan seperti ini. Jangan ada lagi hewan-hewan sepertiku yang mendapat perlakuan sama. Dibuang, ditinggalkan sendiri, seolah-olah kami adalah sampah. Jangan paksa mereka mengalami penderitaan yang sama sepertiku. Apalagi sampai menyakitinya dengan batu, dan siraman air di tubuh kecil kami. Cukup !
Pandanganku gelap, entah apa yang akan terjadi nanti kepadaku.
* tulisan original dari admin Kucing Lucu
ijin share diblog aq ya kak,
Silakan 🙂