Aku si Kucing Liar. Aku tidak punya rumah maupun tujuan. Aku memang murahan, mudah didapat dan dibuang, tapi itulah aku. Si Kucing Liar.
Kucinglucu.net – Aku si Kucing Liar. Aku tidak punya rumah maupun tujuan. Aku merupakan makna dari kata ‘kesepian’ dan ‘kelaparan’. Akulah yang terlantar.
Malam itu, angin berhembus dengan sangat kencang. Hujan turun dengan lebat bersama kilatan petir. Didalam kardus rongsokan yang sudah penyot dan dingin, aku mengintip lewat bolongan-bolongan yang menempel di dinding kardus. Ah, rupanya dia sudah letih denganku. Itulah pikiran pertama ku saat melihat wajahnya yang datar tanpa rasa bersalah.
Sekali, dua kali, dia mencoba mengintip kedalam kardus yang dibawanya. Mungkin dia berusaha mengetahui keadaan ku yang ada didalam. Tetapi untuk apa? Toh aku juga bakal ditelantarkan. Tiba- tiba dia berhenti, ditengah-tengah hujan yang semakin lebat, dia meletakkan ‘rumah’ baru ku di pinggiran lapangan kosong. Dibalik semak-semak belukar yang mampu melukai tubuh kecil ku, dia segera meninggalkanku.
“Meong…, meong,…” aku berteriak, “meong,… meong,…” sekali lagi aku berteriak, “meong,…”
Percuma. Sekeras apapun aku mencoba berteriak memanggilnya, dia tidak dapat mendengarnya. Suaraku kalah keras dengan hujan yang turun. Lagian, dia tidak bakalan mengubah pikirannya untuk menjemput ku.
Kini bagaimana nasibku? Pemilik ku sudah membuang ku, aku sudah tidak lucu lagi baginya. Baginya, aku hanya mainan murah yang dapat dengan mudah dia dapat dan buang. Kemana aku harus mencari makan? Rumah? Kasih sayang? Bukankah kami sama-sama mahluk ciptaan Tuhan? Tapi mengapa hanya jenis ku yang terlantar.
Dalam kegelapan tak henti-hentinya aku mengeong, setidaknya aku berharap ada seseorang berhati malaikat yang mau membawa ku. Cukup malam ini saja. Aku sudah tidak kuat dengan ‘rumah’ yang basah dan penyot ini. Aku kedinginan karena bulu-buluku yang basah. Suaraku makin rintih karena perut yang keroncongan. Oh tuhan, bantulah aku kali ini saja. Tidak bisa, aku tidak bisa berdiam diri disini. Aku bisa mati.
Dengan kakiku yang rapuh dan kedinginan, aku merangkak keluar dari sini. Kupaksakan diriku untuk memanjat. Memanjat, terjatuh, terbalik, sekali lagi aku memanjat. Aku tau tubuh ini sudah lemah, tapi aku harus tetap berusaha. Aku tidak ingin mati. Berkali-kali aku terjatuh, tapi kupaksakan diriku. Berhasil !.
Kini kemanakah aku harus pergi? Ya sudahlah, aku berpasrah saja. Hujan kini mulai mereda. Kaki belakang ku sudah tidak kuat lagi berjalan, maka ku seret kaki-kakiku ini. Selamat, ada mobil didepan. Setidaknya aku dapat berteduh disana. Dibawah kolong mobil yang gelap, ku rebahkan diri. Di atas aspal yang dingin, kotor dan kasar, aku terlelap. Aku tertidur dengan memimpikan hal-hal indah, meski ku tahu kalau itu tidak mungkin aku dapatkan lagi.
Sinar matahari mulai menyelinap ke kolong mobil, aku pun terbangun akibat suara kendaraan yang berisik. Lapar. Dimana aku bisa mendapat makanan? Dari kejauhan kulihat tumpukan sampah, baunya sangat menyerbak sampai aku bisa menciumnya dari kejauhan. Aku bangkit, aku harus mencari makanan.
Baca juga: Cukup ! Jangan Buang Kami Lagi.
Aku berjalan melewati jalan yang luas dan panas, tidak ku indahkan lagi bahaya dari kendaraan yang lalu lalang di jalan itu. Entah pergi kemana semangat ‘tak mau mati’ ku semalam?. Sekarang aku hanya ingin menghilangkan rasa sakit di perutku ini. Tumpukan sampah didepan mataku, bahkan lebih tinggi dari tubuhku sendiri.
Lalat-lalat hijau yang besar, menghinggapi di antara tumpukan sampah. Beberapa dari mereka menghinggap di bulu-bulu ku yang masih basah. Bau ku yang busuk, dan bulu ku yang basah mungkin sudah dianggap bak sampah bagi mereka. Ya, memang itu kenyataannya. Ku garuk tumpukan sampah-sampah itu, cairan kotor keluar dari plastik warna-warni yang ku garuk. Bau busuk kembali menyerbak. Ku tahan bau ini, toh rasa lapar ku lebih menyakitkan.
“Meong!!!” teriak seekor kucing, dia lebih besar dan tua dariku. Wajahnya sudah rusak penuh cakaran binatang lain, bulu-bulu hitamnya rontok dan beruban. Dia mungkin pemilik wilayah ini.
“Meong!! Meong!!” Srek…. aku tercakar, badanku terjatuh dari puncak tumpukan sampah. Terguling dan mendarat di tanah yang becek. Rupanya aku diusir, tentu saja karena masuk ke wilayahnya. Betapa rakusnya dia, tak bisakah dia sedikit berbagi? Percuma, aku tak bisa melawan. Badan ku lebih kecil, lemah, dan rapuh darinya. Daripada berkelahi, lebih baik aku pergi. Masih banyak tumpukan sampah yang lain.
Hari semakin panas, aku kehausan. Air, air, aku butuh air. Untung kemarin turun hujan, setidaknya aku dapat minum dari air yang tergenang. Slup… slup…
“Meong…, meong,…. lucu banget,” seorang manusia datang padaku, seorang anak perempuan. Sial, dia mengingatkanku kembali pada orang itu. Tingginya sepantaran dengan pemilik ku sebelumnya. Mereka juga sangat mirip.
“Meong, kubawa kamu kerumah ya?. Ibu suka kucing,” anak itu berkata dengan riangnya seakan-akan dunia memang begitu indah. Dia menggendong ku, pelan dan hangat. Dia segera berlari, melewati beberapa rumah, melintasi jalan kecil dengan cepatnya, aku bahkan sempat melihat mobil tempatku berteduh semalam. Anak itu terus melihat kearah ku, wajahnya dihiasi senyuman menghangatkan.
Kuputuskan, meski aku akan dibuang lagi, itu tidak masalah. Selama aku masih dapat merasakan kasih sayang, kenyamanan, dan makanan. Sakit hatiku mudah hilang bersama kehangatan yang kurasakan. Aku memang murahan, mudah didapat dan dibuang, tapi itulah aku. Si Kucing Liar.
“Disalin dengan perubahan seperlunya dari kiriman aunty Larasati Nugroho di kompasiana“.